Saturday, November 25, 2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia

Menimbang  : 
a.   bahwa     pembangunan     nasional     dilaksanakan     dalam     rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.   bahwa   dalam   pelaksanaan   pembangunan   nasional,   tenaga   kerja mempunyai  peranan  dan  kedudukan  yang  sangat  penting  sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c.   bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan  ketenagakerjaan  untuk  meningkatkan  kualitas  tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan  tenaga kerja dan keluarganya  sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d.   bahwa   perlindungan   terhadap   tenaga   kerja   dimaksudkan   untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan   kesejahteraan   pekerja/buruh   dan  keluarganya   dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e.   bahwa beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan,   oleh   karena   itu   perlu   dicabut   dan/atau   ditarik kembali;
f.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c,    d,    dan    e   perlu    membentuk    Undang    undang    tentang Ketenagakerjaan; 

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan persetujuan bersama antara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan :
1.   Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2.   Tenaga   kerja   adalah   setiap   orang   yang   mampu   melakukan   pekerjaan   guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
3.   Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4.   Pemberi  kerja  adalah  orang  perseorangan,  pengusaha,  badan  hukum,  atau  badan- badan  lainnya  yang  mempekerjakan   tenaga  kerja  dengan  membayar  upah  atau imbalan dalam bentuk lain.
5.   Pengusaha adalah :
     a.  orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
     b.   orang perseorangan,  persekutuan,  atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
     c.   orang  perseorangan,  persekutuan,  atau  badan  hukum  yang  berada  di Indonesia mewakili   perusahaan   sebagaimana   dimaksud   dalam   huruf   a   dan   b   yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 
6.   Perusahaan adalah :
     a.   setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik  persekutuan,  atau  milik  badan  hukum,  baik  milik  swasta  maupun  milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
     b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan  orang lain dengan membayar  upah atau imbalan  dalam bentuk lain.
7.   Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan  secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8.   Informasi   ketenagakerjaan   adalah  gabungan,   rangkaian,   dan  analisis  data  yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan  kerja  adalah  keseluruhan  kegiatan  untuk  memberi,  memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi  kerja  adalah  kemampuan  kerja  setiap  individu  yang  mencakup  aspek pengetahuan,   keterampilan,   dan  sikap  kerja  yang  sesuai   dengan   standar   yang ditetapkan.
11. Pemagangan  adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan  secara terpadu  antara  pelatihan  di  lembaga  pelatihan  dengan  bekerja  secara  langsung  di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman,  dalam  proses  produksi  barang  dan/atau  jasa di perusahaan,  dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan  penempatan  tenaga kerja adalah kegiatan  untuk mempertemukan  tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai   dengan   bakat,   minat,   dan   kemampuannya,   dan   pemberi   kerja   dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian   kerja  adalah  perjanjian  antara  pekerja/buruh   dengan  pengusaha   atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. 
15. Hubungan    kerja    adalah    hubungan    antara    pengusaha    dengan    pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat  buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh  baik di perusahaan  maupun  di luar perusahaan,  yang bersifat  bebas, terbuka,   mandiri,   demokratis,   dan   bertanggung   jawab   guna   memperjuangkan, membela  serta  melindungi  hak dan  kepentingan  pekerja/buruh  serta  meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal- hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan  perusahaan  adalah  peraturan  yang  dibuat  secara  tertulis  oleh  pengusaha yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa  pengusaha  atau perkumpulan  pengusaha  yang  memuat  syarat  syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan  hubungan  industrial  adalah  perbedaan  pendapat  yang  mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat  buruh karena adanya perselisihan  mengenai hak, perselisihan kepentingan,  dan  perselisihan  pemutusan  hubungan  kerja  serta  perselisihan  antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok  kerja  adalah  tindakan  pekerja/buruh  yang  direncanakan  dan  dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. 
24. Penutupan   perusahaan   (lock   out)   adalah   tindakan   pengusaha   untuk   menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan  hubungan  kerja  adalah  pengakhiran  hubungan  kerja  karena  suatu  hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah  adalah  hak  pekerja/buruh  yang  diterima  dan  dinyatakan  dalam  bentuk  uang sebagai  imbalan  dari  pengusaha  atau  pemberi  kerja  kepada  pekerja/buruh  yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang  undangan,  termasuk  tunjangan  bagi pekerja/buruh  dan keluarganya  atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang  secara  langsung  atau  tidak  langsung  dapat  mempertinggi  produktivitas  kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan    ketenagakerjaan    adalah    kegiatan    mengawasi    dan    menegakkan pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.


BAB II LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN 

Pasal 2

Pembangunan   ketenagakerjaan   berlandaskan   Pancasila   dan   Undang-Undang   Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pasal 3

Pembangunan  ketenagakerjaan  diselenggarakan  atas  asas  keterpaduan  dengan  melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. 


Pasal 4

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
a.   memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b.   mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c.   memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d.   meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.


BAB III KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA 

Pasal 5

Setiap  tenaga  kerja  memiliki  kesempatan  yang  sama  tanpa  diskriminasi  untuk  mem- peroleh pekerjaan.


Pasal 6

Setiap pekerja/buruh  berhak memperoleh  perlakuan  yang sama tanpa diskriminasi  dari pengusaha.


BAB IV PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN 

Pasal 7

(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :
     a.   perencanaan tenaga kerja makro; dan b.   perencanaan tenaga kerja mikro.
(3) Dalam  penyusunan   kebijakan,  strategi,  dan  pelaksanaan   program  pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 



Pasal 8

(1) Perencanaan  tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan  yang antara lain meliputi :
     a.   penduduk dan tenaga kerja;
     b.   kesempatan kerja;
     c.   pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
     d.   produktivitas tenaga kerja;
     e.   hubungan industrial;
     f.   kondisi lingkungan kerja;
     g.   pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan h.   jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi  ketenagakerjaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  diperoleh  dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan    mengenai    tata    cara    memperoleh    informasi    ketenagakerjaan    dan penyusunan  serta  pelaksanaan  perencanaan   tenaga  kerja  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB V PELATIHAN KERJA 

Pasal 9

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan  kompetensi  kerja guna meningkatkan  kemampuan,  produktivitas,  dan kesejahteraan.


Pasal 10

(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di da-lam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan  berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan  mengenai  tata  cara  penetapan  standar  kompetensi  kerja  sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. 


Pasal 11

Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan atau mengem- bangkan  kompetensi  kerja  sesuai  dengan  bakat,  minat,  dan  kemampuannya  melalui pelatihan kerja.


Pasal 12

(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.
(3) Setiap  pekerja/buruh  memiliki  kesempatan  yang  sama  untuk  mengikuti  pelatihan kerja sesuai dengan bi-dang tugasnya.


Pasal 13

(1) Pelatihan  kerja  diselenggarakan  oleh  lembaga  pelatihan  kerja  pemerintah  dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga  pelatihan  kerja pemerintah  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan pe-latihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.


Pasal 14

(1) Lembaga  pelatihan  kerja  swasta  dapat  berbentuk  badan  hukum  Indonesia  atau perorangan.
(2) Lembaga   pelatihan   kerja  swasta  sebagaimana   dimaksud   dalam  ayat  (1)  wajib memperoleh izin atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya  kepada instansi yang bertanggung  jawab di bidang ketenagakerjaan  di kabupaten/kota.
(4) Ketentuan  mengenai  tata  cara  perizinan  dan  pendaftaran  lembaga  pelatihan  kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. 


Pasal 15

Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a.   tersedianya tenaga kepelatihan;
b.   adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c.   tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d.   tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.


Pasal 16

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur masya rakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana  dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Kepu tusan Menteri.


Pasal 17

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan   seme  ntara  pelaksanaan   penyelenggaraan   pelatihan  kerja,  apabila dalam pelaksanaannya ternyata :
a.   tidak sesuai dengan arah pelatihan  kerja sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau
b.   tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian  sementara  pelaksanaan  penyelenggaraan  pelatihan  kerja  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap  program  pelatihan  yang  tidak  memenuhi  syarat  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan.
(5) Penyelenggara  pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan  program pelatihan   kerja   yang   telah   dihentikan   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (4)  dikenakan   sanksi   pencabutan   izin   dan   pembatalan   pendaftaran   penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan pen daftaran diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 18

(1) Tenaga  kerja  berhak  memperoleh  pengakuan  kompetensi  kerja  setelah  mengikuti pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompe tensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang inde penden.
(5) Pembentukan   badan   nasional   sertifikasi   profesi   yang   independen   sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 19

Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis,  derajat  kecacatan,  dan  kemampuan  tenaga  kerja  penyandang  cacat  yang  ber- sangkutan.


Pasal 20

(1) Untuk   mendukung   peningkatan   pelatihan   kerja   dalam   rangka   pembangunan ketenagakerjaan, dikembang kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2) Ketentuan  mengenai  bentuk,  mekanisme,  dan  kelembagaan  sistem  pelatihan  kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 21

Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan. 


Pasal 22

(1) Pemagangan  dilaksanakan  atas dasar perjanjian  pemagangan  antara peserta dengan pengusaha yang di buat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.


Pasal 23

Tenaga   kerja  yang  telah   mengikuti   program   pemagangan   berhak   atas  pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.


Pasal 24

Pemagangan  dapat dilaksanakan  di perusahaan  sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.


Pasal 25

(1) Pemagangan  yang  dilakukan  di  luar  wilayah  Indonesia  wajib  mendapat  izin  dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk  memperoleh   izin  sebagaimana   dimaksud  dalam  ayat  (1),  penyelenggara pemagangan harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan  mengenai  tata  cara  perizinan  pemagangan  di  luar  wilayah  Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 26

(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :
     a.   harkat dan martabat bangsa Indonesia;
     b.   penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
     c.   perlindungan  dan  kesejahteraan  peserta  pemagangan,  termasuk  melaksanakan ibadahnya. 
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 27

(1) Menteri  dapat  mewajibkan  kepada  perusahaan  yang  memenuhi  persyaratan  untuk melaksanakan program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.


Pasal 28

(1) Untuk   memberikan   saran   dan   pertimbangan   dalam   penetapan   kebijakan   serta melakukan koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional.
(2) Pembentukan,   keanggotaan,   dan  tata  kerja  lembaga   koordinasi   pelatihan   kerja sebagaimana dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.


Pasal 29

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas, dan efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui pengembangan   buda  ya  produktif,  etos  kerja,  teknologi,  dan  efisiensi  kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.


Pasal 30

(1) Untuk meningkatkan  produktivitas  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga pro duktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga  produktivitas  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  berbentuk  jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah.
(3) Pembentukan,    keanggotaan,    dan    tata    kerja    lembaga    produktivitas    nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden. 


BAB VI PENEMPATAN TENAGA KERJA 


Pasal 31

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.


Pasal 32

(1) Penempatan  tenaga  kerja  dilaksanakan  berdasarkan  asas  terbuka,  bebas,  obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan  tenaga kerja diarahkan  untuk  menempatkan  tenaga kerja pada jabatan yang  tepat  sesuai  de  ngan  keahlian,  keterampilan,  bakat,  minat,  dan  kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan    tenaga    kerja    dilaksanakan    dengan    memperhatikan    pemerataan kesempatan  kerja dan penye  diaan  tenaga  kerja sesuai  dengan  kebutuhan  program nasional dan daerah.

 
Pasal 33 

Penempatan tenaga kerja terdiri dari :
a.   penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan 
b.   penempatan tenaga kerja di luar negeri.


Pasal 34

Ketentuan  mengenai  penempatan  tenaga  kerja  di  luar  negeri  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.


Pasal 35

(1) Pemberi  kerja  yang  memerlukan  tenaga  kerja  dapat  merekrut  sendiri  tenaga  kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana  penempatan  tenaga  kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  wajib memberikan perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan  tenaga kerja wajib memberi kan perlindungan  yang mencakup kesejahteraan,  keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. 


Pasal 36

(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan  penempatan  tenaga kerja sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
    a.   pencari kerja;
    b.   lowongan pekerjaan;
    c.   informasi pasar kerja;
    d.   mekanisme antar kerja; dan
    e.   kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat  dilaksanakan  secara  terpisah  yang  ditujukan  untuk  terwujudnya  penempatan tenaga kerja.


Pasal 37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari :
    a.   instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan 
    b.   lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga  penempatan  tenaga  kerja  swasta  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) huruf b dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.


Pasal 38

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut  biaya penempatan  tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan  dan  jabatan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  ditetapkan  dengan Keputusan Menteri. 


BAB VII PERLUASAN KESEMPATAN KERJA


Pasal 39

(1) Pemerintah  bertanggung  jawab  mengupayakan  perluasan  kesempatan  kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah  dan  masyarakat  bersama-sama   mengupayakan   perluasan  kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan  pemerintah  baik pusat maupun  daerah di setiap sektor diarahkan untuk  mewujudkan  per  luasan  kesempatan  kerja  baik  di  dalam  maupun  di  luar hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan  maupun non perbankan,  dan dunia usaha perlu membantu dan mem berikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.


Pasal 40

(1) Perluasan  kesempatan  kerja  di  luar  hubungan  kerja  dilakukan  melalui  penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan  potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan   perluasan   kesempatan   kerja  sebagaimana   dimaksud   dalam  ayat  (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela  atau  pola  lain  yang  dapat  mendorong  terciptanya  perluasan  kesempatan kerja.


Pasal 41

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja. (2) Pemerintah   dan   masyarakat   bersama-sama    mengawasi   pelaksanaan   kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam  melaksanakan  tugas  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2) dapat  dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. 


BAB VIII PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING 


Pasal 42

(1) Setiap  pemberi  kerja yang  mempekerjakan  tenaga  kerja asing  wajib  memiliki  izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan  negara asing yang mempergunakan  tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga  kerja  asing  dapat  dipekerjakan  di  Indonesia  hanya  dalam  hubungan  kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan  mengenai  jabatan  tertentu  dan  waktu  tertentu  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.


Pasal 43

(1) Pemberi   kerja  yang  menggunakan   tenaga  kerja  asing  harus   memiliki   rencana penggunaan  tenaga  kerja  asing  yang  disahkan  oleh  Menteri  atau  pejabat  yang ditunjuk.
(2) Rencana  penggunaan  tenaga  kerja  asing  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) sekurang-kurangnya me muat keterangan :
    a.   alasan penggunaan tenaga kerja asing;
    b.   jabatan   dan/atau   kedudukan   tenaga   kerja   asing   dalam   struktur   organisasi perusahaan yang bersangkutan;
    c.   jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
    d.   penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1)   tidak   berlaku   bagi   instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan  mengenai  tata  cara  pengesahan  rencana  penggunaan  tenaga  kerja  asing diatur dengan Keputu san Menteri. 


Pasal 44

(1) Pemberi  kerja  tenaga  kerja  asing  wajib  menaati  ketentuan  mengenai  jabatan  dan standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan  mengenai  jabatan dan standar kompetensi  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :
    a.   menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan
    b.   melaksanakan   pendidikan   dan   pelatihan   kerja   bagi   tenaga   kerja   Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.
(2) Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  tidak  berlaku  bagi  tenaga  kerja asing yang menduduki ja batan direksi dan/atau komisaris.


Pasal 46

(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan ter tentu.
(2) Jabatan-jabatan   tertentu   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1)   diatur   dengan Keputusan Menteri


Pasal 47

(1) Pemberi  kerja  wajib  membayar  kompensasi  atas  setiap  tenaga  kerja  asing  yang dipekerjakannya.
(2) Kewajiban  membayar  kompensasi  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  tidak berlaku  bagi instansi  pe merintah,  perwakilan  negara  asing,  badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan  mengenai  jabatan-jabatan  tertentu  di  lembaga  pendidikan  sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan   mengenai   besarnya   kompensasi   dan   penggunaannya   diatur   dengan Peraturan Pemerintah. 


Pasal 48

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.


Pasal 49

Ketentuan  mengenai  penggunaan  tenaga kerja asing serta pelaksanaan  pendidikan  dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.


BAB IX HUBUNGAN KERJA 


Pasal 50

Hubungan   kerja   terjadi   karena   adanya   perjanjian   kerja   antara   pengusaha   dan pekerja/buruh.


Pasal 51

(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian  kerja  yang  dipersyaratkan  secara  tertulis  dilaksanakan  sesuai  dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.


Pasal 52

(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
    a.   kesepakatan kedua belah pihak;
    b.   kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
    c.   adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
    d.   pekerjaan   yang   diperjanjikan   tidak   bertentangan   dengan   ketertiban   umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian  kerja  yang  dibuat  oleh  para  pihak  yang  bertentangan  dengan  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian  kerja  yang  dibuat  oleh  para  pihak  yang  bertentangan  dengan  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. 


Pasal 53

Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.


Pasal 54

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
    a.   nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
    b.   nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
    c.   jabatan atau jenis pekerjaan;
    d.   tempat pekerjaan;
    e.   besarnya upah dan cara pembayarannya;
    f.   syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
    g.   mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
   h.   tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i.    tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian  kerja sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1) dibuat sekurang  kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.


Pasal 55

Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.


Pasal 56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian   kerja   untuk   waktu   tertentu   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1) didasarkan atas :
a.   jangka waktu; atau
b.   selesainya suatu pekerjaan tertentu. 


Pasal 57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian   terdapat   perbedaan   penafsiran   antara   keduanya,   maka  yang  berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.


Pasal 58

(1)  Perjanjian  kerja  untuk  waktu  tertentu  tidak  dapat  mensyaratkan   adanya  masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.


Pasal 59

(1) Perjanjian  kerja untuk  waktu  tertentu  hanya  dapat  dibuat  untuk  pekerjaan  tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya  akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
    a.    pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
    b. pekerjaan  yang  diperkirakan  penyelesaiannya  dalam  waktu  yang  tidak  terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
    c.    pekerjaan yang bersifat musiman; atau
   d. pekerjaan  yang  berhubungan  dengan  produk  baru,  kegiatan  baru,  atau  produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian  kerja  untuk  waktu  tertentu  tidak  dapat  diadakan  untuk  pekerjaan  yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian  kerja  waktu  tertentu  yang  didasarkan  atas  jangka  waktu  tertentu  dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. 
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan  perjanjian  kerja  waktu  tertentu  hanya  dapat  diadakan  setelah  melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan  perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal  lain  yang  belum  diatur  dalam  Pasal  ini  akan  diatur  lebih  lanjut  dengan Keputusan Menteri.


Pasal 60

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam  masa  percobaan  kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.


Pasal 61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
    a.   pekerja meninggal dunia;
    b.   berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
    c. adanya  putusan  pengadilan  dan/atau  putusan  atau  penetapan  lembaga penyelesaian  perselisihan  hubungan  industrial  yang telah mempunyai  kekuatan hukum tetap; atau
    d.   adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam  hal  terjadi  pengalihan  perusahaan   maka  hak-hak  pekerja/buruh   menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. 
(4) Dalam hal pengusaha,  orang perseorangan,  meninggal  dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam   hal   pekerja/buruh   meninggal   dunia,   ahli   waris   pekerja/   buruh   berhak mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak hak yang telah  diatur  dalam  perjanjian  kerja,  peraturan  perusahaan,  atau perjanjian kerja bersama.


Pasal 62

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri  hubungan  kerja  diwajibkan  membayar  ganti  rugi  kepada  pihak  lainnya sebesar  upah  pekerja/buruh  sampai  batas  waktu  berakhirnya  jangka  waktu  perjanjian kerja.


Pasal 63

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Surat  pengangkatan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  sekurang  kurangnya memuat keterangan :
    a.   nama dan alamat pekerja/buruh;
    b.   tanggal mulai bekerja;
    c.   jenis pekerjaan; dan 
    d.   besarnya upah.


Pasal 64
Perusahaan  dapat  menyerahkan   sebagian  pelaksanaan  pekerjaan  kepada  perusahaan lainnya  melalui  perjanjian  pemborongan  pekerjaan  atau penyediaan  jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.


Pasal 65
(1) Penyerahan  sebagian  pelaksanaan  pekerjaan  kepada  perusahaan  lain  dilaksanakan melalui perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. 
(2) Pekerjaan  yang  dapat  diserahkan  kepada  perusahaan  lain  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.   dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.   dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.   merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d.   tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. 
(4) Perlindungan  kerja dan syarat-syarat  kerja bagi pekerja/buruh  pada perusahaan  lain sebagaimana    dimak-sud    dalam    ayat    (2)    sekurang-kurangnya    sama    dengan perlindungan  kerja dan syarat-syarat  kerja pada perusahaan  pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan   kerja  sebagaimana   dimaksud   dalam  ayat  (6)  dapat  didasarkan   atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam  hal  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  dan  ayat  (3)  tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam  hal  hubungan  kerja  beralih  ke perusahaan  pemberi  pekerjaan  sebagaimana dimaksud  dalam  ayat  (8),  maka  hubungan  kerja  pekerja/buruh  dengan  pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).


Pasal 66
(1) Pekerja/buruh  dari  perusahaan  penyedia  jasa  pekerja/buruh  tidak  boleh  digunakan oleh   pemberi   kerja   untuk   melaksanakan   kegiatan   pokok   atau   kegiatan   yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. 
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan  lang-sung  dengan  proses  produksi  harus  memenuhi  syarat  sebagai berikut :
    a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
    b.   perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  59  dan/atau  perjanjian  kerja  waktu  tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
    c.   perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
    d.   perjanjian  antara  perusahaan  pengguna  jasa  pekerja/buruh  dan  perusahaan  lain yang  bertindak  sebagai  perusahaan  penyedia  jasa  pekerja/buruh  dibuat  secara tertulis  dan  wajib  memuat  pasal-pasal  sebagaimana  dimaksud  dalam  undang- undang ini.
(3) Penyedia  jasa  pekerja/buruh  merupakan  bentuk  usaha  yang  berbadan  hukum  dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.


BAB X PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN


Bagian Kesatu Perlindungan Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67

(1) Pengusaha  yang mempekerjakan  tenaga kerja penyandang  cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. 
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan  sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Paragraf 2
Anak
Pasal 68

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.


Pasal 69

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan   pekerjaan   ringan   sepanjang   tidak   mengganggu   perkembangan   dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) ha-rus memenuhi persyaratan :
    a.   izin tertulis dari orang tua atau wali;
    b.   perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
    c.   waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
    d.   dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
    e.   keselamatan dan kesehatan kerja;
    f.   adanya hubungan kerja yang jelas; dan
    g.   menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.


Pasal 70

(1) Anak  dapat  melakukan  pekerjaan  di  tempat  kerja  yang  merupakan  bagian  dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
    a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan  pekerjaan  serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
    b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. 


Pasal 71

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan  anak sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat :
    a.   di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
    b.   waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
    c.   kondisi  dan  lingkungan  kerja  tidak  mengganggu  perkembangan  fisik,  mental, sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan  mengenai  anak  yang  bekerja  untuk  mengembangkan  bakat  dan  minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.


Pasal 73

Anak  dianggap  bekerja  bilamana  berada  di  tempat  kerja,  kecuali  dapat  dibuktikan sebaliknya.


Pasal 74

(1) Siapapun  dilarang  mempekerjakan  dan  melibatkan  anak  pada  pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
    a.   segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
    b.   segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
    c.   segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
    d.   semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. (3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri. 


Pasal 75

(1) Pemerintah  berkewajiban  melakukan  upaya  penanggulangan  anak  yang  bekerja  di luar hubungan kerja.
(2) Upaya   penanggulangan   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1)   diatur   dengan Peraturan Pemerintah.


Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76

(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha  dilarang  mempekerjakan  pekerja/buruh  perempuan  hamil  yang  menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :
    a.   memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
    b.   menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan   sebagaimana   dimaksud   dalam  ayat  (3)  dan  ayat  (4)  diatur  dengan Keputusan Menteri.


Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
    a.   7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
    b.   8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan  waktu  kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  tidak  berlaku  bagi sektor usaha atau peker-jaan tertentu. 
(4) Ketentuan   mengenai   waktu   kerja   pada   sektor   usaha   atau   pekerjaan   tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 78

(1) Pengusaha  yang  mempekerjakan  pekerja/buruh  melebihi  waktu  kerja  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
    a.   ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
    b.   waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha  yang  mempekerjakan  pekerja/buruh  melebihi  waktu  kerja  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan   mengenai   waktu  kerja  lembur  dan  upah  kerja  lembur  sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. (2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
    a.   istirahat  antara  jam  kerja,  sekurang  kurangnya  setengah  jam  setelah  bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
    b.   istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
    c.   cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
    d.   istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh  dan  kedelapan  masing-masing  1  (satu)  bulan  bagi  pekerja/buruh  yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya  dalam 2 (dua) tahun berjalan  dan selanjutnya  berlaku  untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan  waktu istirahat tahunan sebagaimana  dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan  Menteri.


Pasal 80

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.


Pasal 81

(1) Pekerja/buruh    perempuan    yang    dalam    masa    haid    merasakan    sakit    dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


Pasal 82

(1) Pekerja/buruh  perempuan  berhak  memperoleh  istirahat  selama  1,5  (satu  setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat  1,5  (satu  setengah)  bulan  atau  sesuai  dengan  surat  keterangan  dokter kandungan atau bidan.


Pasal 83

Pekerja/buruh   perempuan   yang   anaknya   masih   menyusu   harus   diberi   kesempatan sepatutnya  untuk menyusui  anaknya   jika hal itu harus dilakukan  selama  waktu kerja.


Pasal 84

Setiap  pekerja/buruh  yang  menggunakan  hak  waktu  istirahat  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 79  ayat (2) huruf   b, c, dan d,  Pasal  80, dan Pasal 82  berhak mendapat upah penuh. 


Pasal 85

(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha  dapat  mempekerjakan  pekerja/buruh  untuk  bekerja  pada  hari-hari  libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan  tersebut harus dilaksanakan  atau dijalankan secara terus- menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur  resmi  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  wajib  membayar   upah  kerja lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)  diatur dengan Keputusan Menteri.


Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86

(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
    a.   keselamatan dan kesehatan kerja;
    b.   moral dan kesusilaan; dan
    c.   perlakuan  yang  sesuai  dengan  harkat  dan  martabat  manusia  serta  nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh  guna mewujudkan  produktivitas  kerja yang optimal   diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.


Pasal 87

(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 


Bagian Kedua
Pengupahan.
Pasal 88

(1) Setiap pekerja/buruh  berhak memperoleh  penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk  mewujudkan   penghasilan  yang  memenuhi  penghidupan  yang  layak  bagi kemanusiaan   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1),   pemerintah   menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana  dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
    a.   upah minimum;
    b.   upah kerja lembur;
    c.   upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
    d.   upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
    e.   upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
    f.   bentuk dan cara pembayaran upah;
    g.   denda dan potongan upah;
    h.   hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
    i.    struktur dan  skala pengupahan yang proporsional;
    j.    upah untuk pembayaran pesangon;  dan
    k.   upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)  huruf a  berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.


Pasal 89

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam  Pasal  88  ayat (3)   huruf  a   dapat terdiri atas :
    a.   upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
    b.   upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Upah    minimum   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1)   diarahkan   kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. 
(3) Upah  minimum  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  ditetapkan  oleh  Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 90

(1) Pengusaha  dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan  penangguhan.
(3) Tata   cara   penangguhan   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat  (2)  diatur   dengan Keputusan Menteri.


Pasal 91

(1) Pengaturan  pengupahan  yang  ditetapkan  atas  kesepakatan  antara  pengusaha  dan pekerja/buruh   atau  serikat  pekerja/serikat   buruh  tidak  boleh  lebih  rendah  dari ketentuan    pengupahan    yang   ditetapkan     peraturan   perundang-undangan    yang berlaku.
(2) Dalam  hal  kesepakatan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  lebih  rendah  atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 92

(1) Pengusaha  menyusun  struktur  dan  skala  upah  dengan  memperhatikan   golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha  melakukan   peninjauan   upah  secara  berkala  dengan  mem-perhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. 


Pasal 93

(1) Upah  tidak  dibayar  apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila :
    a.   pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
    b.   pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
    c.   pekerja/buruh  tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh  menikah,  menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
    d.  pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
    e.   pekerja/buruh   tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya;
    f. pekerja/buruh   bersedia   melakukan   pekerjaan   yang   telah   dijanjikan   tetapi pengusaha   tidak  mempekerjakannya,   baik  karena  kesalahan  sendiri  maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari  pengusaha;
    g.   pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
    h.   pekerja/buruh  melaksanakan  tugas serikat pekerja/serikat  buruh atas persetujuan pengusaha; dan
    i.    pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf  a sebagai berikut :
    a.   untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
    b.   untuk  4 (empat)  bulan  kedua,  dibayar  75%  (tujuh  puluh  lima  perseratus)  dari upah;
    c.   untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan d.   untuk  bulan  selanjutnya  dibayar  25%  (dua  puluh  lima  perseratus)  dari  upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
    a.   pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
    b.   menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; 
    c.   mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari d.   membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
    e.   isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
    f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
    g.   anggota  keluarga  dalam  satu  rumah  meninggal  dunia,  dibayar  untuk  selama  1 (satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan  sebagaimana dimaksud  dalam ayat (2) ditetapkan dalam   perjanjian   kerja,   peraturan   perusahaan,    atau   perjanjian   kerja   bersama.


Pasal 94

Dalam  hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan  tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.


Pasal 95

(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah  mengatur  pengenaan  denda  kepada  pengusaha  dan/atau  pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
(4) Dalam  hal  perusahaan   dinyatakan   pailit  atau  dilikuidasi   berdasarkan   peraturan perundang-undangan  yang  berlaku,  maka  upah  dan  hak-hak  lainnya  dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya.


Pasal 96

Tuntutan  pembayaran  upah  pekerja/buruh  dan  segala  pembayaran  yang  timbul  dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu    2 (dua)  tahun sejak  timbulnya hak. 


Pasal 97

Ketentuan   mengenai  penghasilan  yang layak, kebijakan  pengupahan,  kebutuhan  hidup layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah   minimum   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   89,    dan   pengenaan   denda sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)  diatur  dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 98

(1) Untuk  memberikan  saran,  pertimbangan,  dan  merumuskan  kebijakan  pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur  pemerintah,  organisasi  pengusaha,  serikat  pekerja/-serikat  buruh,  perguruan tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan  Dewan Pengupahan  tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan  oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan   mengenai   tata  cara  pembentukan,   komposisi   keanggotaan,   tata  cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden.



Bagian Ketiga Kesejahteraan 
Pasal 99

(1) Setiap  pekerja/buruh  dan  keluarganya  berhak  untuk  memperoleh  jaminan  sosial tenaga kerja.
(2) Jaminan  sosial  tenaga  kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 100

(1) Untuk meningkatkan  kesejahteraan  bagi pekerja/buruh  dan keluarganya,  pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan. 
(2) Penyediaan  fasilitas  kesejahteraan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  dilak- sanakan dengan  memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 101

(1) Untuk  meningkatkan  kesejahteraan  pekerja/buruh,  dibentuk  koperasi  pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pembentukan  koperasi  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1), dilaksanakan  sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya   untuk  menumbuhkembangkan   koperasi  pekerja/buruh   sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL 
Bagian Kesatu Umum
Pasal 102

(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan  hubungan industrial, pekerja/buruh  dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan  hubungan  industrial,  pengusaha  dan organisasi  pengusahanya mempunyai  fungsi  menciptakan  kemitraan,  mengembang-kan  usaha,  memperluas  lapangan   kerja,   dan   memberikan   kesejahteraan   pekerja/buruh   secara   terbuka, demokratis, dan berkeadilan.


Pasal 103

Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a.   serikat pekerja/serikat buruh;
b.   organisasi pengusaha;
c.   lembaga kerja sama bipartit; d.   embaga kerja sama tripartit; e.   peraturan perusahaan;
f.   perjanjian kerja bersama;
g.   peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h.   lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.


Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104

(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam   melaksanakan   fungsi   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   102,   serikat pekerja/serikat buruh ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)   diatur   dalam   ang-garan   dasar   dan/atau   anggaran   rumah   tangga   serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.


Bagian Ketiga Organisasi Pengusaha 
Pasal 105

(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang ber-laku. 


Bagian Keempat 
Lembaga Kerja Sama Bipartit 
Pasal 106

(1) Setiap perusahaan  yang mempekerjakan  50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.


Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107

(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah  dan pihak terkait dalam penyusunan  kebijakan dan pemecahan  masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
    a.   Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
    b.   Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. 
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan seri-kat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata  kerja  dan  susunan  organisasi  Lembaga  Kerja  sama  Tripartit  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 


Bagian Keenam 
Peraturan Perusahaan 
Pasal 108

(1) Pengusaha  yang  mempekerjakan  pekerja/buruh  sekurang-kurangnya   10  (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Kewajiban  membuat  peraturan  perusahaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) tidak berlaku bagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.


Pasal 109

Peraturan  perusahaan  disusun  oleh  dan  menjadi  tanggung  jawab  dari pengusaha  yang bersangkutan.


Pasal 110

(1) Peraturan  perusahaan  disusun  dengan  memperhatikan  saran dan pertimbangan  dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan  yang bersangkutan  telah terbentuk  serikat  pekerja/serikat buruh  maka  wakil  pe-kerja/buruh  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh,   wakil   pekerja/   buruh   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1)   adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.


Pasal 111

(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
    a.   hak dan kewajiban pengusaha;
    b.   hak dan kewajiban pekerja/buruh;
    c.   syarat kerja;
    d.   tata tertib perusahaan; dan
    e.   jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan  dalam  peraturan  perusahaan  tidak  boleh  bertentangan  dengan  ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. 
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh di perusahaan meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.


Pasal 112

(1) Pengesahan   peraturan   perusahaan   oleh   Menteri   atau   pejabat   yang   ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan  telah sesuai sebagaimana  ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan  kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.


Pasal 113

(1) Perubahan  peraturan  perusahaan  sebelum  berakhir  jangka  waktu  berlakunya  hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan  perusahaan  hasil perubahan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1) harus mendapat pengesa-han dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 


Pasal 114

Pengusaha   wajib   memberitahukan   dan   menjelaskan   isi   serta   memberikan   naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.


Pasal 115

Ketentuan  mengenai  tata cara pembuatan  dan pengesahan  peraturan  perusahaan  diatur dengan Keputusan Menteri.


Bagian Ketujuh 
Perjanjian Kerja Bersama 
Pasal 116

(1) Perjanjian  kerja  bersama  dibuat  oleh  serikat  pekerja/serikat  buruh  atau  beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan   perjanjian   kerja   bersama   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1) dilaksanakan secara musya-warah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).


Pasal 117

Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial.


Pasal 118

Dalam 1 (satu) perusahaan  hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian  kerja bersama  yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan. 


Pasal 119

(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat   pekerja/seri-kat   buruh   tersebut   berhak   mewakili   pekerja/buruh   dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah   anggota   lebih   dari   50%   (lima   puluh   perseratus)   dari   jumlah   seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam  hal  di  satu  perusahaan  hanya  terdapat  satu  serikat  pekerja/serikat  buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat   pekerja/serikat   buruh   dapat   mewakili   pekerja/buruh   dalam   perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat   dukungan   lebih   50%   (lima   puluh   perseratus)   dari   jumlah   seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam  hal  dukungan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  tidak  tercapai  maka serikat   pekerja/serikat    buruh   yang   bersangkutan    dapat   mengajukan    kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya  pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).


Pasal 120

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang  jumlah  keanggotaannya  lebih  dari  50%  (lima  puluh  perseratus)  dari  seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1) tidak terpenuhi,  maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh  perseratus)  dari seluruh  jumlah  pekerja/buruh  di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam  hal  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  atau  ayat  (2)  tidak terpenuhi, maka para seri-kat pekerja/serikat  buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing- masing serikat pekerja/serikat buruh. 


Pasal 121

Keanggotaan serikat pekerja/serikat  buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.


Pasal 122

Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh  dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh   yang   disaksikan   oleh   pihak   pejabat   yang   bertanggung   jawab   di   bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.


Pasal 123

(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya pa-ling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan  pembuatan  perjanjian  kerja  bersama  berikutnya  dapat  dimulai  paling cepat  3  (tiga)  bulan  se-belum  berakhirnya  perjanjian  kerja  bersama  yang  sedang berlaku.
(4) Dalam  hal  perundingan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (3)  tidak  mencapai kesepakatan maka perjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.


Pasal 124

(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
    a.   hak dan kewajiban pengusaha;
    b.   hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
    c.   jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan d.   tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam  hal isi perjanjian  kerja  bersama  bertentangan  dengan  peraturan  perundang- undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan  tersebut batal demi hukum dan yang berlaku  adalah ketentuan  dalam peraturan perundang-undangan. 


Pasal 125

Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.


Pasal 126

(1) Pengusaha,  serikat  pekerja/serikat   buruh  dan  pekerja/buruh  wajib  melaksanakan ketentuan yang ada da-lam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha  dan  serikat  pekerja/serikat  buruh  wajib  memberitahukan  isi  perjanjian kerja bersama atau peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/ buruh atas biaya perusahaan.


Pasal 127

(1) Perjanjian   kerja   yang   dibuat   oleh   pengusaha   dan   pekerja/buruh   tidak   boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.


Pasal 128

Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.


Pasal 129

(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat  buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan  perusahaan  tidak  boleh  lebih  rendah  dari  ketentuan  yang  ada  dalam perjanjian kerja bersama. 


Pasal 130

(1) Dalam  hal  perjanjian  kerja  bersama  yang  sudah  berakhir  masa  berlakunya  akan diperpanjang  atau diper-baharui  dan di perusahaan  tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam  hal  perjanjian  kerja  bersama  yang  sudah  berakhir  masa  berlakunya  akan diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat  buruh dan serikat pekerja/serikat  buruh yang dulu berunding tidak   lagi   memenuhi   ketentuan   Pasal   120   ayat   (1),   maka   perpanjangan   atau pembuatan  pembaharuan  perjanjian  kerja  bersama  dilakukan  oleh  serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh  pekerja/buruh  di  perusahaan  bersama-sama  dengan  serikat  pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional.
(3) Dalam  hal  perjanjian  kerja  bersama  yang  sudah  berakhir  masa  berlakunya  akan diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/ serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).


Pasal 131

(1) Dalam   hal   terjadi   pembubaran   serikat   pekerja/serikat   buruh   atau   pengalihan kepemilikan   perusahaan   maka   perjanjian   kerja   bersama   tetap   berlaku   sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai  perjan-jian  kerja bersama  maka perjanjian  kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam  hal  terjadi   penggabungan   perusahaan   (merger)   antara  perusahaan   yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian   kerja  bersama   maka  perjanjian   kerja  bersama  tersebut  berlaku  bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama. 


Pasal 132

(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian  kerja bersama yang ditandatangani  oleh pihak yang membuat  perjanjian kerja   bersama   selan-jutnya   didaftarkan   oleh   pengusaha   pada   instansi   yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.


Pasal 133

Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 134

Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah   wajib   melaksanakan   pengawasan   dan  penegakan   peraturan   perundang- undangan ketenagakerjaan.


Pasal 135

Pelaksanaan  peraturan  perundang-undangan  ketenagakerjaan  dalam  mewujudkan hubungan   industrial   merupakan   tanggung   jawab   pekerja/buruh,    pengusaha,   dan pemerintah.


Bagian Kedelapan 
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 136

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian  secara musyawarah  untuk mufakat  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat   buruh   menyelesaikan   perselisihan   hubungan   industrial   melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang- undang. 


Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137

Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.


Pasal 138

(1) Pekerja/buruh   dan/atau  serikat  pekerja/serikat   buruh  yang  bermaksud   mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.


Pasal 139

Pelaksanaan   mogok  kerja  bagi  pekerja/buruh   yang  bekerja  pada  perusahaan   yang melayani  kepentingan  umum  dan/atau  perusahaan  yang  jenis  kegiatan-nya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.


Pasal 140

(1) Sekurang-kurangnya   dalam   waktu   7   (tujuh)   hari   kerja   sebelum   mogok   kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
    a.   waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
    b.   tempat mogok kerja;
    c.   alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
    d.   tanda tangan ketua dan sekretaris  dan/atau  masing-masing  ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam  hal  mogok  kerja  akan  dilakukan  oleh  pekerja/buruh  yang  tidak  menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh, maka pemberitahuan  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani  oleh perwakilan pekerja/buruh  yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja. 
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara :
    a.   melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
    b.   bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh  yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.


Pasal 141

(1) Instansi  pemerintah  dan  pihak  perusahaan  yang  menerima  surat  pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan  dan merundingkannya  dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam   hal   perundingan   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (2)   menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan  segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam  hal  perundingan  tidak  menghasilkan  kesepakatan  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat  buruh  atau  penanggung  jawab  mogok  kerja,  mogok  kerja  dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.


Pasal 142

(1) Mogok  kerja  yang  dilakukan  tidak  memenuhi  ketentuan  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 139 dan Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri. 


Pasal 143

(1) Siapapun  tidak dapat menghalang-halangi  pekerja/buruh  dan serikat  pekerja/serikat buruh untuk mengguna kan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
(2) Siapapun     dilarang    melakukan     penangkapan     dan/atau    penahanan     terhadap pekerja/buruh  dan  pengurus  serikat  pekerja/serikat  buruh  yang  melakukan  mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 144

Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b.   memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus  serikat  pekerja/serikat  buruh  selama  dan sesudah  melakukan  mogok kerja.


Pasal 145

Dalam  hal  pekerja/buruh  yang  melakukan  mogok  kerja  secara  sah  dalam  melakukan tuntutan  hak normatif  yang sungguh-sungguh  dilanggar  oleh pengusaha,  pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.


Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out) 
Pasal 146

(1) Penutupan  perusahaan  (lock  out)  merupakan  hak  dasar  pengusaha  untuk  menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha  tidak  dibenarkan  melakukan  penutupan  perusahaan  (lock  out)  sebagai tindakan  balasan sehubungan  adanya tuntutan normatif  dari pekerja/buruh  dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 


Pasal 147

Penutupan  perusahaan  (lock out) dilarang dilakukan  pada perusahaan-perusahaan  yang melayani kepentingan  umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan  keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi,  pusat penyedia  tenaga listrik, pengolahan  minyak dan gas bumi, serta kereta api.


Pasal 148

(1) Pengusaha  wajib  memberitahukan   secara  tertulis  kepada  pekerja/buruh  dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
    a.   waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
    b.   alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.


Pasal 149

(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan  tanda bukti penerimaan  dengan mencantumkan  hari, tanggal,  dan jam penerimaan.
(2) Sebelum  dan  selama  penutupan  perusahaan  (lock  out)  berlangsung,  instansi  yang bertanggung  jawab  di bidang  ketenagakerjaan  berwenang  langsung  menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam   hal   perundingan   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (2)   menghasilkan kesepakatan,  maka  harus  dibuat  perjanjian  bersama  yang  ditandatangani  oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. 
(4) Dalam hal perundingan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan    segera   menyerahkan    masalah   yang   menyebabkan    terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan  antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
(6) Pemberitahuan  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila :
    a.   pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
    b.   pekerja/buruh  atau  serikat  pekerja/serikat  buruh  melanggar  ketentuan  normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB XII PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 
Pasal 150

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus  dan mempekerjakan  orang  lain dengan  membayar  upah  atau imbalan  dalam bentuk lain.


Pasal 151

(1) Pengusaha,  pekerja/buruh,  serikat  pekerja/serikat  buruh,  dan  pemerintah,  dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari,   maka   maksud   pemutusan   hubungan   kerja   wajib   dirundingkan   oleh  pengusaha  dan  serikat  pekerja/serikat   buruh  atau  dengan  pekerja/buruh   apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam  hal  perundingan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  benar-benar  tidak menghasilkan  persetu-juan,  pengusaha  hanya  dapat  memutuskan  hubungan  kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.


Pasal 152

(1) Permohonan  penetapan  pemutusan  hubungan  kerja  diajukan  secara  tertulis  kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan  penetapan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1) dapat  diterima  oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan  pemutusan  hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga  penyelesaian  perselisihan  hubungan  industrial  jika ternyata  maksud  untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.


Pasal 153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
    a.   pekerja/buruh  berhalangan  masuk kerja karena sakit menurut keterangan  dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
    b.   pekerja/buruh    berhalangan    menjalankan    pekerjaannya    karena    memenuhi kewajiban   terhadap   negara   sesuai   dengan   ketentuan   peraturan   perundang- undangan yang berlaku;
    c.   pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
    d.   pekerja/buruh menikah;
    e.  pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
  f. pekerja/buruh  mempunyai  pertalian  darah  dan/atau  ikatan  perkawinan  dengan pekerja/buruh  lainnya  di  dalam  satu  perusahaan,  kecuali  telah  diatur  dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; 
    g. pekerja/buruh  mendirikan,  menjadi  anggota  dan/atau  pengurus  serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
    i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
    j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan  hubungan  kerja  yang  dilakukan  dengan  alasan  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.


Pasal 154

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
a.   pekerja/buruh  masih  dalam  masa  percobaan  kerja,  bilamana  telah  dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b.   pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c.   pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d.   pekerja/buruh meninggal dunia.


Pasal 155

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama   putusan   lembaga   penyelesaian   perselisihan   hubungan   industrial   belum ditetapkan,  baik pengusaha  maupun pekerja/buruh  harus tetap melaksanakan  segala kewajibannya. 
(3) Pengusaha    dapat   melakukan    penyimpangan    terhadap    ketentuan    sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.


Pasal 156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon  dan atau uang  penghargaan  masa  kerja dan uang penggantian  hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan  uang  pesangon  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  paling  sedikit sebagai berikut :
    a.   masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
    b.   masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
    c.   masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
    d.   masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
    e.   masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
    f.   masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
    g.   masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
    h.   masa  kerja  7 (tujuh)  tahun  atau  lebih  tetapi  kurang  dari  8  (delapan)  tahun,  8 (delapan) bulan upah;
    i.    masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan  uang  penghargaan  masa  kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) ditetapkan sebagai be-rikut :
    a.   masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
    b.   masa kerja 6 (enam)  tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan)  tahun, 3 (tiga) bulan upah; 
    c.   masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
    d.   masa  kerja  12 (dua  belas)  tahun  atau  lebih  tetapi  kurang  dari 15 (lima  belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
    e.   masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
    f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
    g.   masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
    h.   masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
    a.   cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
    b.   biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
    c.   penggantian  perumahan  serta pengobatan  dan  perawatan  ditetapkan  15%  (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
    d.   hal-hal  lain yang  ditetapkan  dalam  perjanjian  kerja,  peraturan  perusahaan  atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan  perhitungan  uang pesangon,  perhitungan  uang penghargaan  masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 157

(1) Komponen  upah  yang  digunakan  sebagai  dasar  perhitungan  uang  pesangon,  uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas :
    a.   upah pokok;
    b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh   dan   keluarganya,   termasuk   harga   pembelian   dari   catu   yang diberikan  kepada  pekerja/buruh  secara  cuma-cuma,  yang  apabila  catu  harus  dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam  hal  upah  pekerja/buruh   dibayarkan  atas  dasar  perhitungan   satuan  hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung  pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan  pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.


Pasal 158

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
    a.   melakukan  penipuan,  pencurian,  atau  penggelapan  barang  dan/atau  uang  milik perusahaan;
    b.   memberikan   keterangan   palsu   atau   yang   dipalsukan   sehingga   merugikan perusahaan;
    c.   mabuk,   meminum   minuman   keras   yang   memabukkan,   memakai   dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
    d.   melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
    e.   menyerang,  menganiaya,  mengancam,  atau  mengintimidasi  teman  sekerja  atau pengusaha di lingkungan kerja;
    f. membujuk   teman  sekerja  atau  pengusaha  untuk  melakukan  perbuatan  yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
    g.   dengan ceroboh atau sengaja merusak  atau membiarkan  dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
    h.   dengan ceroboh atau sengaja membiarkan  teman sekerja atau pengusaha  dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
    i. membongkar     atau    membocorkan     rahasia    perusahaan    yang    seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
    j. melakukan  perbuatan  lainnya  di  lingkungan  perusahaan  yang  diancam  pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut :
    a.   pekerja/buruh tertangkap tangan;
    b.   ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
    c.   bukti  lain berupa  laporan  kejadian  yang  dibuat  oleh pihak  yang berwenang  di perusahaan  yang  bersangkutan  dan  didukung  oleh  sekurang-kurangnya  2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh  yang  diputus  hubungan  kerjanya  berdasarkan  alasan  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya  diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


Pasal 159

Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.


Pasal 160

(1) Dalam  hal  pekerja/buruh  ditahan  pihak  yang  berwajib  karena  diduga  melakukan tindak  pidana  bukan  atas  pengaduan   pengusaha,   maka  pengusaha   tidak  wajib membayar  upah  tetapi  wajib  memberikan  bantuan  kepada  keluarga  pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
    a.   untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
    b.   untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
    c.   untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
    d.   untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan  takwin  ter-hitung  sejak  hari pertama  pekerja/buruh  ditahan  oleh  pihak  yang berwajib. 
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah  6  (enam)  bulan  tidak  dapat  melakukan  pekerjaan  sebagaimana  mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam  hal  pengadilan  memutuskan  perkara  pidana  sebelum  masa  6 (enam)  bulan sebagaimana  dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh  dinyatakan  tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam  hal  pengadilan  memutuskan  perkara  pidana  sebelum  masa  6 (enam)  bulan berakhir dan pekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan  hubungan  kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (3)  dan  ayat  (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha   wajib   membayar   kepada   pekerja/buruh   yang  mengalami   pemutusan hubungan   kerja   sebagai-mana   dimaksud   dalam   ayat   (3)   dan   ayat   (5),   uang penghargaan   masa  kerja  1  (satu)  kali  ketentuan  Pasal  156  ayat  (3)  dan  uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).


Pasal 161

(1) Dalam  hal  pekerja/buruh   melakukan   pelanggaran   ketentuan   yang  diatur  dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan  pemutusan  hubungan  kerja,  setelah  kepada  pekerja/buruh  yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut- turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh    yang    mengalami    pemutusan    hubungan    kerja    dengan    alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).


Pasal 162

(1) Pekerja/buruh  yang  mengundurkan  diri  atas  kemauan  sendiri,  memperoleh  uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 
(2) Bagi pekerja/buruh  yang mengundurkan  diri atas kemauan  sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat :
    a.  mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
    b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
    c.  tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan  hubungan  kerja  dengan  alasan  pengunduran  diri  atas  kemauan  sendiri dilakukan tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.


Pasal 163

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha  dapat  melakukan   pemutusan   hubungan  kerja  terhadap  pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan,  atau peleburan perusahaan,  dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas  uang  pesangon  sebesar  2  (dua)  kali  ketentuan   Pasal  156  ayat  (2),  uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).


Pasal 164

(1) Pengusaha  dapat  melakukan   pemutusan   hubungan  kerja  terhadap  pekerja/buruh karena  perusahaan  tutup  yang  disebabkan  perusahaan  mengalami  kerugian  secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh  berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan  Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha  dapat  melakukan   pemutusan   hubungan  kerja  terhadap  pekerja/buruh karena perusahaan  tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut- turut   atau   bukan   karena   keadaan   memaksa   (force   majeur)   tetapi   perusahaan melakukan  efisiensi,  dengan  ketentuan  pekerja/buruh  berhak  atas  uang  pesangon sebesar  2  (dua)  kali  ketentuan  Pasal  156  ayat  (2),  uang  penghargaan  masa  kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).


Pasal 165

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan  masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).


Pasal 166

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua)  kali  uang  pesangon  sesuai  ketentuan  Pasal  156  ayat  (2),  1  (satu)  kali  uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).


Pasal 167

(1) Pengusaha  dapat  melakukan   pemutusan   hubungan  kerja  terhadap  pekerja/buruh karena  memasuki  usia pensiun  dan apabila  pengusaha  telah  mengikutkan pekerja/buruh  pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam  hal besarnya  jaminan  atau  manfaat  pensiun  yang  diterima  sekaligus  dalam program pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah   uang  pesangon   2  (dua)   kali  ketentuan   Pasal   156  ayat  (2)  dan  uang penghargaan  masa  kerja  1  (satu)  kali  ketentuan  Pasal  156  ayat  (3),  dan  uang penggantian  hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan  pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan  dengan  uang  pesangon  yaitu  uang  pensiun  yang  premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam   hal   pengusaha   tidak   mengikutsertakan   pekerja/buruh   yang   mengalami pemutusan   hubungan   kerja   karena   usia   pensiun   pada   program   pensiun   maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh  uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 168

(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan  tertulis  dengan  bukti  yang  sah  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)  dan  diberikan  uang  pisah  yang  besarnya  dan  pelaksanaannya   diatur  dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 


Pasal 169

(1) Pekerja/buruh  dapat  mengajukan  permohonan  pemutusan  hubungan  kerja  kepada lembaga   penyelesaian   perselisihan   hubungan   industrial   dalam   hal   pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
    a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
    b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
    c. tidak  membayar  upah  tepat  pada  waktu  yang  telah  ditentukan  selama  3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
    d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
    e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
    f. memberikan  pekerjaan  yang  membahayakan  jiwa,  keselamatan,  kesehatan,  dan kesusilaan  pekerja/buruh  sedangkan  pekerjaan  tersebut  tidak dicantumkan  pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan  hubungan  kerja  dengan  alasan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian  perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).


Pasal 170

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima. 


Pasal 171

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian  perselisihan  hubungan  industrial  yang berwenang  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh  yang bersangkutan   tidak   dapat   menerima   pemutusan   hubungan   kerja   tersebut,   maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial  dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan  pemutusan hubungan kerjanya.


Pasal 172

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan  pekerjaannya  setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan  masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).


BAB XIII PEMBINAAN 


Pasal 173

(1) Pemerintah    melakukan    pembinaan    terhadap   unsur-unsur    dan   kegiatan   yang berhubungan dengan ketena-gakerjaan.
(2) Pembinaan   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1),   dapat   mengikut-sertakan organisasi pengusaha, seri-kat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan terko-ordinasi.


Pasal 174

Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi peng-usaha, serikat pekerja/serikat   buruh   dan   organisasi   profesi   terkait   dapat   melakukan   kerja   sama internasional  di  bidang  ketenagakerjaan  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan yang berlaku. 


Pasal 175

(1) Pemerintah  dapat memberikan  penghargaan  kepada orang atau lembaga yang telah berjasa dalam pem-binaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1) dapat  diberikan  dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.


BAB XIV PENGAWASAN 

Pasal 176

Pengawasan  ketenagakerjaan  dilakukan  oleh pegawai pengawas  ketenaga-kerjaan  yang mempunyai   kompetensi   dan   independen   guna   menjamin   pelaksanaan   peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.


Pasal 177

Pegawai pengawas ketenagakerjaan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.


Pasal 178

(1) Pengawasan  ketenagakerjaan  dilaksanakan  oleh  unit  kerja  tersendiri  pada  instansi yang   lingkup   tugas   dan   tanggung   jawabnya   di   bidang   ketenagakerjaan   pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan  pengawasan  ketenagakerjaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) diatur dengan Keputu-san Presiden.


Pasal 179

(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah  provin-si  dan pemerintah  kabupaten/kota  wajib  menyampaikan  laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata  cara  penyampaian  laporan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  ditetapkan dengan Keputusan Men-teri. 


Pasal 180

Ketentuan   mengenai  persyaratan   penunjukan,   hak  dan  kewajiban,   serta  wewenang pegawai  pengawas  ketenagakerjaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  176  sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 181

Pegawai   pengawas   ketenagakerjaan    dalam   melaksanakan   tugasnya   sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a.   merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b.   tidak menyalahgunakan kewenangannya.


BAB XV PENYIDIKAN 

Pasal 182

(1) Selain  penyidik  pejabat  Polisi  Negara  Republik  Indonesia,  juga  kepada  pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
    a.   melakukan  pemeriksaan  atas kebenaran  laporan serta keterangan  tentang tindak pidana di bidang ketenaga-kerjaan;
    b.   melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    c.   meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    d.   melakukan  pemeriksaan  atau penyitaan  bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    e.   melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
    f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
    g.   menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. 
(3) Kewenangan  penyidik  pegawai  negeri  sipil sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF 

Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00  (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  merupakan  tindak  pidana kejahatan.


Pasal 184

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan  sanksi  pidana  penjara  paling  singkat  1 (satu)  tahun  dan  paling  lama  5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00  (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  merupakan  tindak  pidana kejahatan.


Pasal 185

(1) Barang siapa melanggar  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan  sanksi pidana  penjara  paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  merupakan  tindak  pidana kejahatan. 


Pasal 186

(1) Barang siapa melanggar  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00  (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  merupakan  tindak  pidana pelanggaran.


Pasal 187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua  belas)  bulan  dan/atau  denda  paling  sedikit  Rp  10.000.000,00  (sepuluh  juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  merupakan  tindak  pidana pelanggaran.


Pasal 188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  merupakan  tindak  pidana pelanggaran.


Pasal 189

Sanksi   pidana   penjara,   kurungan,   dan/atau   denda   tidak   menghilangkan   kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh. 


Bagian Kedua 
Sanksi Administratif 
Pasal 190

(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan  sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal  126  ayat (3), dan Pasal  160  ayat  (1) dan ayat (2) Undang-undang  ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
    a.   teguran;
    b.   peringatan tertulis;
    c.   pembatasan kegiatan usaha; d.   pembekuan kegiatan usaha; e.   pembatalan persetujuan;
    f.   pembatalan pendaftaran;
    g.   penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
    h.   pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.


BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 191

Semua  peraturan  pelaksanaan  yang  mengatur  ketenagakerjaan  tetap  berlaku  sepanjang tidak  bertentangan  dan/atau  belum  diganti  dengan  peraturan  yang  baru  berdasarkan Undang undang ini. 


BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP 

Pasal 192

Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka :
1.   Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2.   Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3.   Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4.   Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5.   5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6.   Ordonansi  Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan  Kerja Anak anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7.   Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8.   Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);
9.   Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-undang  Nomor  8  Tahun  1961  tentang  Wajib  Kerja  Sarjana  (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan  (Lock Out) Di Perusahaan,  Jawatan,  dan Badan  Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai Tenaga  Kerja  (Lembaran  Negara  Tahun  1969  Nomor  55,  Tambahan  Lembaran Negara Nomor 2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); 
14. Undang-undang  Nomor  11  Tahun  1998  tentang  Perubahan  Berlakunya  Undang- undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan  (Lembaran  Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15. Undang-undang  Nomor  28  Tahun  2000  tentang  Penetapan  Peraturan  Pemerintah Pengganti  Undang-undang  Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan  Atas Undang- undang  Nomor  11  Tahun  1998  tentang  Perubahan  Berlakunya  Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenaga-kerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042), dinyatakan tidak berlaku lagi.


Pasal 193

Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan  undang  undang  ini  dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Admin